Minggu, 14 Desember 2008

TAWADHU'

Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu. 


Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud z) 

Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong. 
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya. 

Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran 
Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83) 
Fudhail bin Iyadh t (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
“Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z) 
perintah untuk Tawadhu’ 
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala: 
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21) 
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215). 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588). 
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan. 
Macam-macam Tawadhu’ 
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua: 
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah. 
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657). 

TAWAZZUN

Tawazzun
Tawazzun  adalah seimbang. Nah, seimbang yang dimaksud di sini adalah seimbang dalam 3 potensi yang dimiliki manusia. MENGAPA HARUS  seimbang? … Kemuliaan seseorang bisa dilihat dari seberapa besar ia bisa tawazzun, lho! Nggak percaya? Coba tengok…
Tiga potensi yang musti diseimbangkan dan dikasih ‘makan’ :

a. Akal

Dalam agama Islam, ayat pertama yang diturunkan Allah pada Nabi Muhammad SAW adalah “Iqra…” atau “Bacalah…” (Al-’Alaq [96] : 1). Kenapa Allah nggak memerintahkan “Shalatlah” atau “Puasalah”? Kenapa malah “Bacalah…”? Salah satu makna yang bisa kita ambil adalah karena dengan membaca, pengetahuan apapun bisa kita dapatkan. Kesuksesan apapun (dunia atau akhirat) bisa kita raih, dengan memberi akal ‘makanan’ berupa ilmu…

b. Ruh


Ruh kita juga butuh makanan. Beda dengan akan yang ‘makanan’nya ilmu, ruh butuh waktu dimana kita dekat dengan Sang Pencipta. Dari zaman dulu banyak orang yang akalnya hebat, tapi nol dalam ruh. Jadinya, mereka percaya kalau mereka diciptakan dengan sendirinya. Ini pemahaman yang salah, soalnya apapun di dunia ini yang ada (termasuk manusia), pasti ada karena ada yang menciptakan. Tul? So, yang harus kita lakukan untuk menjaga ruh itu adalah dengan memberinya ‘makanan’ berupa kedekatan dengan-Nya.

c. Jasad


Kayaknya percuma kalo kita punya akal tokcer, ruh bagus, tapi sakit. Apapun yang kita lakukan kalau sakit pastinya nggak enak dilakukan. Jasad juga butuh makanan berupa makanan yang bergizi dan olahraga! Kalau dalam Islam sendiri, ada suatu hadits yang mengatakan kalau Allah lebih menyukai muslim yang kuat dibanding muslim yang lemah.
Smoga kita termasuk sebagai orang yang tawazzun, yang dapat menyeimbangkan ketiga potensi di atas…

Sabtu, 06 Desember 2008

PRIORITAS AMALAN HATI


AlDakwah.org --- Imam Ibnu Al Qayyim mengklasifikasikan ibadah dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Amalan Hati, seperti : Tawakkal kepada Allah SWT., mahabatullah, tawadhu`, khusyû`, niat ikhlash, raja` dan lain sebagainya.

2. Amalan Lisan, seperti : Mengucapkan dua kalimat syahadatain, tasbîh, istighfar, bersumpah atas nama Allah SWT. , berdo`a dan lain sebagainya.

3. Amalan Anggota Badan, seperti : Shalat, puasa, jihad, menuntut ilmu, berdagang, berladang, dan lain sebagainya.

Amalan yang paling diprioritaskan atau paling afdhal di antara 3 (tiga) jenis amalan tersebut adalah amalan hati yang dilakukan oleh hati manusia beriman. Ada beberapa alasan asasi (dasar) yang menjadi dasar dari prioritas ini:

1. Amalan hati merupakan penentu sah atau tidaknya suatu amalan

Sesungguhnya amalan lahiriyah yang dilakukan oleh lisan dan anggota tubuh lainnya tidak akan diterima oleh Allah SWT., selama tidak disertai dengan amalan hati (niat) yang merupakan dasar bagi diterimanya suatu amal lahiriah. Sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya seluruh amalan harus disertai dengan niat." (Muttafaqun `Alaihi dari Umar bin al-Khaththab ra.)

Karena itu suatu amal atau pekerjaan atau aktifitas (apapun bentuknya) sangat bergantung dan terkait dengan niatnya. Suatu amal tanpa disertai dengan suatu niat yang benar, seperti halnya badan tanpa ruh atau seperti pohon tanpa buah, tidak berfungsi, dan tidak menguntungkan sedikitpun.

Hatilah yang dinilai oleh Allah SWT, karena bila bersih niatnya, maka Allah SWT. akan menerima amalannya dan apabila kotor hatinya (niatnya tidak benar atau berbau syirik atau tidak ikhlash), maka dengan sendirinya amal tersebut akan ditolak, sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada bentuk tubuh dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada hatimu sambil Beliau mengarahkan jari-jariNya ke dadanya" (H.R. Muslim dari Abû Hurairah ra ).

2. Hati merupakan cerminan hakikat pemiliknya

Dalam shahîh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabî SAW bersabda:

"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati." (Muttafaqun `Alaihi, dari Nu`man bin Basyîr).

Untuk lebih memperjelas pemahaman hadîts di atas marilah kita mengingat kembali firman Allah SWT yang termuat dalam surat Asy-Syams, ayat 8 - 10 :

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, (QS. 91:8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam hati manusia terdapat dua jenis "bibit penentu", yang satu kita sebut saja sebagai "bibit kebaikan" yang merangsang dan mendorong manusia untuk melakukan amal kebaikan atau perbuatan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT., sedang yang lainnya kita sebut dengan "bibit kejahatan" yang merangsang manusia untuk melakukan melakukan perbuatan fahsya (keji) atau kemungkaran kepada Allah SWT.

Al-Fujûr merupakan "benih kejahatan" yang dengan istilah lainnya dikenal sebagai nafsu syahwat syaithaniyah yang senantiasa membisiki dan menghembusi manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tercela lagi berdosa yang akan mengantarkannya ke jalan kefasikan dan berhilir di neraka. Sedang at-Taqwa merupakan "benih kebaikan" yang senantiasa memotifasi dan memobilisasi manusia untuk melakukan amal kebajikan dan pekerjaan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pada hati manusia terdapat 2 (dua) kekuatan yaitu kekuatan "Fujur" dan "Taqwa" (sebagaimana yang dipaparkan dalam surat Asy-Syams di atas) yang selalu bertempur untuk saling mengalahkan satu dengan yang lainnya sehingga salah satu dari keduanya menjadi pemenang atau lebih mempunyai pengaruh dalam menentukan perilaku kehidupan "tuannya". Apabila setiap rangsangan "benih kebaikan (At-Taqwa)" ini yang timbul dalam diri manusia selalu direspon dalam bentuk amal shalih secara benar dan kontinue (berkesinambungan) maka dengan sendirinya "benih kebaikan" akan semakin berkembang dan akan mendominasi atau mengusai hati "tuannya". Sehingga ide, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi baik karena mengikuti instruksi-instruksi yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kebaikan". Maka jadilah "tuannya" ini termasuk orang-orang beruntung yang mampu membersihkan jiwanya dari nafsu syahwat syaithaniyah karena ia hanya mau merespon bisikan dan panggilan kebaikan (taqwa) saja. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9)

Dan sebaliknya bagi manusia yang lebih sering merespon tuntutan nafsu syahwat syaithaniyahnya maka tindakan tercela lagi berdosa itu dengan otomatis memberikan kontribusi dan mempercepat pertumbuhan serta peluasan "benih-benih kejahatan (fujûr)" sehingga benih ini akan mendominasi hatinya. Dari Abû Hurairah ra bahwa Rasûlullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya orang mukmin, ketika ia berbuat dosa maka (saat itu juga) akan menempel titik hitam di hatinya, jika ia bertaubat dan mencabut (dirinya dari perbuatan dosa tersebut) dan memohon ampunan maka hatinya (kembali) bersih, jika ia menambahinya (dengan perbuatan dosa lagi) maka titik hitam itu bertambah pula di dalam hatinya. Selanjutnya itulah "ran" yang disebutkan dalam firman Allah SWT:

"(Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka)."

Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam "Kitab Az-Zuhd, bab Dzikru Adz-Dzunûb.

Pada saat hati manusia dikuasai oleh "benih-benih kejahatan (fujûr)" maka ide, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi buruk karena mengikuti instruksi-instruksi yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kejahatan", sehingga jadilah ia termasuk orang-orang yang merugi karena ia telah mengotori dan mencemari jiwanya dengan selalu menuruti nafsu syahwat syaithani, sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam kitab Minhajul Qashidîn dikatakan:

Bahwa sesuatu yang paling berharga, paling bernilai dan paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Sedang anggota tubuh hanya sekedar mengikuti dan menjadi pelayan hati, sebagaimana seorang tuan yang memerintahkan hamba sahayanya sebagai pelayannya.

Abu Faqih Rendusara


Selasa, 02 Desember 2008

Manajemen Qalbu2

Al-Khobir, Yang Maha Mengetahui

Penulis: KH Abdullah Gymnastiar

Bismillahirrahmaanirrahiim

"Wahai anakku, sesungguhnya kalau ada satu butir biji sawi yang tersembunyi di dalam batu atau di langit atau di bumi, maka Allah mengetahuinya. Sungguh Allah itu Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS.31 : 16)

Allah SWT mempunyai nama indah Al-Khobir. "Kho", "ba", dan "ro", itulah huruf-huruf penyusunnya. Kata yang tersusun dari huruf-huruf tersebut berkisar maknanya pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Khobir biasanya digunakan untuk menunjukkan pengetahuan yang dalam dan sangat rinci menyangkut hal-hal yang sangat tersembunyi.

Menurut Imam Al-Ghozali, Al-Khobir adalah yang tidak tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang sangat dalam dan yang disembunyikan. Tidak terjadi sesuatu pun dalam kerajaan-Nya yang di dunia maupun alam raya kecuali diketahui-Nya. Tidak bergerak atau diam satu butir atom pun dan tidak bergerak atau tenang satu jiwa pun kecuali ada beritanya di sisi Allah.

Allah mengetahui apapun yang dikandung hati atau disimpan oleh pikiran. Bisikan-bisikan nafsu, ajakan-ajakan syetan, khayalan-khayalan pikiran, prasangka-prasangka di hati, rencana-rencana jahat, komentar-komentar dan gumaman hati, semua ada dalam pengetahuan Allah. Ada dua tindakan yang dapat dilakukan untuk meneladani asma Al-Khobir ini. Tindakan pertama menyangkut hubungan keluar dengan makhluk lain. Kita sadar bahwa pengetahuan kita sangat terbatas. Kita tidak tahu isi hati dan kepala orang lain, dan kita pun tidak tahu banyak tentang maksud-maksud di balik penciptaan makhluk disekitar kita. Berangkat dari kesadaran ini, maka akhlak yang patut dikembangkan adalah baik sangka! Selalu berbaik sangka kepada Allah dan sesama. Bila kita melihat orang yang cacat, seperti pincang, buta, atau lumpuh, janganlah mencela tetapi berbaik sangkalah, karena boleh jadi cacat itu pada fisiknya saja sedangkan batinnya penuh kemuliaan dan kesempurnaan karena ridho menerima ketentuan Allah. Bila kita mencela maka kitalah yang sebenarnya cacat. Cacat hati karena tidak mampu melihat hikmah Allah, cacat adab karena merendahkan makhluk Allah, dan cacat Akhlak karena baru bisa mencela dan tidak mampu berbuat untuk menolong. Tindakan kedua menyangkut diri kita sendiri. Pertama, kenalilah jasad ini dan hubungkan dengan kekuasaan Allah. Kedua, kenalilah kekurangan-kekurangan kita dalam segi ilmu, sikap, dan perilaku dan hubungkanlah dengan pengawasan Allah. Ketiga, kenalilah tujuan hidup ini dan selaraskan dengan keinginan Allah. Bila kita perhatikan jasad ini, maka insya Allah kita sadar dari mana asal kita dan siapakah kita. Dari setetes air yang hina, ke mana-mana membawa kotoran dan kalau sudah mati menjadi bangkai, itulah jasad ini. Tidak berdaya bila sudah kena penyakit. Bila sudah tua akan mengeriput dan melemah. Tidak ada yang patut disombongkan. Bila kita perhatikan betapa besar karunia Allah atas tubuh ini, maka insyaAllah kita sadar bahwa keindahan dan kesempurnaan tubuh ini Allah-lah yang membuat. Kekurangan dan kecacatan pun bukan kita yang menghendaki. Ini akan melahirkan rasa terima kasih dan rasa menerima. Sibukkanlah diri melihat kekurangan diri lalu bekerjalah untuk memperbaiki. Kita tahu betapa bodohnya kita dan betapa sedikitnya ibadah kita. Yang sedikit itupun kita rusak dengan tidak khusyuk dan kita hancurkan dengan ketidakikhlasan. Kita seharusnya malu kepada Allah karena kebusukan-kebusukan kita.

Hidup ini untuk akhirat. Awasilah setiap tindakan agar benar-benar diniatkan karena Allah dan selalu berada di jalan Allah. Belajar dari Al-Khobir membuat kita banyak melihat ke dalam diri dengan waspada dan melihat keluar diri dengan berbaik sangka. ***

--------------------------------------------------------------------------------

Rangkuman Tausyiah KH. Abdullah Gymnastiar, Pengajian MMQ Masjid Al-Azhar, 28 Agustus 2002

Sabtu, 29 November 2008

Pelajaran dari Kematian

MediaMuslim.Info -Pernahkah kita membayangkan kalau diri kita sedang berada di atas ranjang kematian, apa yang kita perbuat kala itu? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh semua manusia yang masih hidup. Lalu bagaimanakah keadaan detik-detik terakhir dari nafas kita yang akan berlalu itu? Apakah kita termasuk orang yang senang untuk bertemu Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala, ataukah sebaliknya seperti budak yang melarikan diri dan takut bertemu tuannya karena kesalahan yang dilakukannya?

Belajar dari akhir kehidupan para umat terdahulu yang sholeh adalah sangat perlu bagi kita semua, mereka adalah orang-orang terdepan dari umat ini, para pemimpin dan ulama kaum muslimin. Sungguh mereka sangat takut kalau menghadap Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala dalam keadaan membawa dosa dan kemaksiatan.

Aisyah Radhiallaahu anha menceritakan bahwa Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam tatkala menjelang wafat disediakan untuk beliau satu wadah air, beliau memasukkan tangannya ke dalam air lalu mengusapkan ke wajahnya seraya bersabda: “La ilaha illallah, sesungguhnya di dalam kematian ada sakaratul maut.” Kemudian beliau menengadahkan kedua tangan-nya lalu mengatakan, “Fir Rafiqil A’la” lalu beliau wafat dan tangannya tergeletak lemas.

Ketika Umar al Faruq menjelang ajal, beliau berkata kepada putranya Abdullah, “Letakkan pipiku di atas tanah”, namun Abdullah enggan untuk melakukan itu. Beliau berkata hingga untuk ketiga kalinya, “Letakkan pipiku di atas tanah, semoga Alloh melihatku dalam keadaan demikian, kemudian Dia merahmatiku.” Diriwayatkan, bahwa beliau terus menangis sehingga pasir-pasir menempel di kedua mata beliau seraya mengatakan, “Celakalah Umar, celaka juga ibunya, jika Alloh tidak memaafkannya.”

Ketika Abu Hurairah sakit parah beliau menangis, lalu ditanya, “Apa yang membuat anda menangis? Beliau menjawab, “Saya menangis bukan karena dunia ini, namun saya menangisi perjalanan setelah ini (dunia), bekalku yang sedikit, lalu saya akan menapaki tempat yang menanjak lagi amat luas, sementara saya tidak tahu akan dimasukkan ke neraka atau ke surga.”

Utsman Radhiallaahu anhu berkata di akhir hayatnya, “Tidak ada ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau ya Alloh, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang berbuat aniaya. Ya Alloh aku mohon pertolongan dalam seluruh urusanku, dan aku memohon kesabaran dalam menghadapi ujian yang menimpaku.”

Wahai manusia! Kini saatnya orang-orang yang tertidur untuk bangun dari tidurnya, sudah saatnya orang yang lalai sadar dari keterlenaannya, sebelum datang maut dengan membawa kegetiran dan kepahitan, sebelum tubuh berhenti bergerak dan sebelum nafas terputus. Mumpung belum memasuki perjalanan menuju alam kubur dan kehidupan akhirat yang kekal abadi.

Abu Darda’ ketika menjelang wafat mengatakan, “Apakah seseorang tidak mau beramal untuk mempersiapkan panggung pergulatan ini? Mengapa orang tidak beramal untuk menghadapi waktu ini? Mengapa orang tidak beramal untuk menyongsong hariku ini? Kemudian beliau menangis, maka istri beliau bertanya,”Mengapa engkau menangis, bukankah engkau telah menemani Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ? Beliau menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis sementara aku tidak mengetahui bagaimana dosa-dosa telah menyerangku.”

Dan berkata Abu Sulaiman ad-Darani, “Aku berkata kepada Ummu Harun seorang wanita yang rajin beribadah, “Apakah anda senang dengan kematian? Maka dia menjawab, “Tidak! Aku bertanya, “Mengapa? Maka dia mejawab, “Demi Allah, andaikan aku berbuat kesalahan kepada makhluk saja, maka aku takut untuk bertemu dengannya, maka bagaimana lagi jika aku bermaksiat kepada Khaliq Yang Maha Agung?

Atha’ as Sulami ditanya tatkala sakit yang mengantarkan pada ajalnya, “Bagaimanakah keadaan anda? Beliau menjawab,” Kematian berada di leherku, kuburan ada di hadapanku, kiamat adalah akhir perjalananku, jembatan Jahannam adalah jalanku, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Kemudian beliau menangis dan terus menangis sehingga pingsan. Ketika sadar kembali beliau mengucapkan, “Ya Allah kasihanilah aku, hilangakanlah kesedihan di dalam kuburku, mudahkan kesulitanku ketika menjelang kematian, rahmatilah kedudukanku di hadapan-Mu wahai Dzat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih.”

Sementara itu ketika Sulaiman at Taimi telah dekat wafatnya, dikatakan kepada beliau, “Kabar gembira buat anda, karena anda adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla.” Maka beliau menjawab, “Janganlah kalian mengatakan demikian, sesungguhnya aku tidak mengetahui apa yang tampak di hadapan Alloh Azza wa Jalla, karena Dia telah berfirman, yang artinya: “……Dan jelaslah bagi mereka azab dari Alloh yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az Zumar: 47)

Disebutkan, bahwa Abu Darda’z apabila ada seseorang yang meninggal dalam keadaan yang baik, maka beliau berkata, “Berbahagialah engkau, andaikan aku dapat menggantikan dirimu. ” Maka Ummu Darda’ bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu beliau menjawab, “Betapa bodohnya engkau, bukankah engkau tahu, bahwa ada seseorang yang pagi-pagi dia beriman, namun di sore hari telah menjadi munafik, ia lepaskan keimanannya tanpa dia menyadari hal itu.”

Muhammad al Munkadir menangis tatkala menjelang wafatnya, lalu ia ditanya, “Apa yang membuat anda menangis? Beliau menjawab, “Demi Alloh aku menangis bukan karena dosa yang aku ketahui telah aku lakukan, namun aku takut jika telah melakukan sesuatu yang aku anggap sepele namun dihadapan Alloh ternyata itu adalah sesuatu yang amat besar.”

Sufyan ats Tsauri berkata, “Tidak ada tempat yang lebih dahsyat bagiku daripada (tempat) terjadinya sakaratul maut, aku sangat takut kalau dia (sakarat) terus menerus menekanku, aku telah meminta keringanan, namun dia tidak menghiraukan, sehingga aku terkena fitnahnya.” Kemudian beliau menangis semalaman hingga menjelang pagi, ketika beliau ditanya, “Apakah tangis tersebut karena dosa? Maka beliau mengambil segenggam tanah dan berkata, “Dosa lebih ringan dari pada ini (tanah, maksudnya adalah maut- pen), aku menangis karena takut terhadap su’ul khatimah (akhir hidup yang buruk).

Shofwan bin Sulaim mengatakan, “Di dalam kematian ada rahah (istira-hat) bagi seorang mukmin dari huru hara dan hiruk pikuk dunia, walaupun harus merasakan putusnya nafas dan kepedihan. Kemudian beliau mengu-curkan air mata.

Wahai saudaraku! Marilah kita mengumpamakan diri kita masing masing sebagai seorang yang sedang berbaring menunggu ajal. Saudara dan tetangga sedang mengerumuni kita, lalu di antara mereka ada yang berkata, “Si Fulan telah berwasiat, sedangkan hartanya telah dihitung.” Ada lagi yang berkata, “Si fulan sudah tidak dapat berbicara, sudah tidak mengenali para tetangganya dan mulutnya tertutup rapat. Orang-orang memandangi kita, kita mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun tidak kuasa untuk menjawabnya. Lalu kita lihat anak kita yang masih kecil menangis seseng-gukan di sisi kita seraya mengatakan, “Wahai ayah tercinta siapakah yang akan mengasuhku nanti setelah ayah pergi? Siapakah yang akan memenuhi kebutuhanku nanti? Kita mendengarkan semua itu, namun demi Allah kita sudah tidak mampu manjawab lagi.

Syafiq bin Ibrahim berkata, “Bersiap-siaplah kalian semua di dalam menghadapi kematian, jangan sampai ketika ia datang lalu kalian minta di kembalikan lagi ke dunia (karena belum beramal).”

Al ‘Alla’ bin Ziyad mengatakan juga, “Hendaknya setiap orang dari kalian merasakan, bahwa dirinya telah meninggal, lalu memohon kepada Alloh Azza wa Jalla untuk dikembalikan ke dunia, kemudian Allah memenuhinya, maka hendaklah kalian beramal ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla.”

Syamith bin ‘Ajlan menuturkan, “Manusia itu ada dua macam, pertama orang yang terus mencari bekal di dunia, dan ke dua orang yang terus bersenang-senang di dunia. Maka lihatlah, termasuk golongan yang manakah dirimu?”

Dikisahkan, bahwa suatu hari al Hasan al Bashri melewati sekelompok pemuda yang sedang tertawa terbahak-bahak, maka beliau bertanya, “Wahai anak saudaraku, apakah kalian pernah menyebrangi ash Shirath (jembatan Jahannam)? Para pemuda itu menjawab, “Belum.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian tahu ke surga ataukah ke neraka kalian akan dimasukkan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian beliau berkata, “Lalu untuk apakah tawamu yang demikian itu?” Semoga Alloh Azza wa Jalla memberi maaf kepada kalian semua. Dan ketika beliau menjelang wafat beliau menangis seraya mengatakan, “Jiwa yang lemah, sedang urusan sangat dahsyat dan besar, sesungguhnya kita adalah milik Alloh Azza wa Jalla dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali.”

Wahai saudaraku! Kita semua tidak dapat membayangkan bagaimanakah keadaan malam pertama di alam kubur itu. Anas Radhiallaahu anhu pernah berkata, “Maukah kalian kuberi tahu dua hari dan dua malam yang belum pernah diketahui dan didengar oleh manusia (yang masih hidup)? Hari yang pertama adalah hari di mana datang kepadamu pembawa berita dari Alloh Azza wa Jalla, baik dengan membawa keridhaan-Nya maupun murka-Nya (waktu meninggal-pen), dan kedua yaitu hari dimana kalian dihadapkan kepada Alloh Azza wa Jalla untuk mengambil buku catatan amal, dengan tangan kiri ataukah dengan tangan kanan. Sedangkan dua malam, adalah malam pertama kali di dalam kubur dan malam dimana pagi harinya dilenyapkan tatkala terjadinya Hari Kiamat.

Kematian adalah perkara yang mengerikan, urusan yang sangat dahsyat, suguhan yang rasanya paling pahit dan tidak disukai. Dia adalah peristiwa yang menghancurkan seluruh kelezatan dunia, memutuskan ketenangan, serta pembawa duka dan kesedihan. Dia memutuskan segala yang telah tersambung, memisahkan anggota badan dan menghancurkan seluruh tubuh, sungguh dia adalah perkara yang sangat besar dan mengerikan.

Kita bayangkan bagaimana keadaan kita tatkala kita diangkat dari tempat tidur kita, dibawa ke suatu tempat untuk dimandikan, lalu kita dibungkus dengan kain kafan, keluarga dan tetangga bersedih, saudara dan teman menangis. Orang yang memandikan kita berkata, “Dimanakah istri si fulan, dia akan melepas kepergian suaminya, dan dimanakah anak-anak yatim si fulan, “Kalian semua akan ditinggalkan oleh ayah, kalian tidak akan bertemu lagi dengannya setelah ini.”

Jika para Nabi dan Rasul, shalihin dan muttaqin semuanya mengalami hal itu, maka apakah kita akan terlena dari mengingatnya? Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber Rujukan: Buletin Dar Ibnu Khuzaimah, judul ” ‘Ala Firasyil Maut.”)

Penulis dan Kontributor: Al Akh Suparlin Abdurrahman

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info

Tatkala Hati Membeku

Pernah nggak kita merenung?, sudah berapa kali kita pernah menangis karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, merasa ngeri ketika ingat nerakanya atau terkenang dengan bertumpuk-tumpuknya dosa yang pernah kita lakukan? Sudah berapa kali shalat yang kita kerjakan begitu kita nikmati karena kita bisa merenungi makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca?……….

Itu tentu sangat sulit!……. mungkin seperti itu jawaban sebagian dari kita. Pernah nggak kita berfikir apa yang menjadi sebab hal itu. Penyebabnya nggak lain adalah bekunya hati kita yang menyebabkan kita sulit untuk menangis serta tidak bisa khusuk dalam shalat.

Berikut ini adalah beberapa penyebab kebekuan hati yang kita alami. Sehingga kalau kita sudah mengetahui penyebabnya, kita bisa menterapi hati kita yang sudah terlanjur cool banget.

Bergaul yang tidak Berfaedah.
Teman punya pengaruh yang signifikan pada diri kita. Dia akan memberikan warna dalam kepribadian kita. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberi perumpamaan. Teman yang tidak baik itu seperti Pandai Besi, andai tidak terbakarpun, minimal kita, yang mau tidak mau pasti mendapatkan udara yang panas. Karena itu kita harus mampu mengendalikan diri dengan baik agar tidak terjebak dalam pergaulan yang tidak bermanfaat.

Berbicara Yang tidak Perlu.
Sering sekali kita membicarakan hal-hal yang kadang-kadang tidak ada manfaatnya, baik untuk dunia maupun akhirat kita. Hati-hati dengan lisan kita, salah omong urusannya berabe. Apakah kita lupa bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan lidah hany satu dan telinga ada dua, dengan tujuan yaitu supaya kita lebih banyak diam untuk mendengar daripada bicara.

Namun kita sangat sering melupakan hal ini apalagi kalau sedang asyik berbicara, kita lupa untuk mendengar. Jadi perlu pengendalian kata agar tidak percuma dan sia-sia. Karena itu kebisaan gossip mesti dikurangi dan dihilangkan…..!!!

Memandang Yang tidak Perlu.
Tidak mengatur pandangan yang kita lakukan akan menimbulkan tiga dampak negatif yaitu; Terkena panah Iblis yang beracun. Oleh karena itu Nabi menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Alloh maka Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik” (HR: Ahmad). Setan masuk seiring pandangan untuk menyalakan api syahwat. Membuat hati lupa dan menyibukkannya sehingga terjerumus ke dalam mengikuti hawa nafsu dan kelalaian.Berlebih-lebihan dalam Makan.
Imam Syafi’i rahimahulloh mengatakan: “Selama 16 tahun aku hanya pernah kenyang sekali saja, yang akhirnya kumuntahkan. Karena kenyang itu membuat badan terasa berat, hati menjadi keras, kepandaian menjadi hilang, menyebabkan ngantuk dan membuat orang loyo dalam beribadah”. (diwan Imam Syafi’I hal. 14). Sehingga makan itu sekedarnya saja, kalau bisa jangan sampai kekenyangan. Tidak sehat dan membuat malas.

Tidur yang Berlebihan.
Coba kita renungkan komentar Nabi shalallahu’alaihi wa salam tentang orang yang tidur satu malam penuh, bangun-bangun sudah pagi tanpa shalat malam “Itulah orang yang telinganya atau kedua telinganya dikencingi syetan.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Menghina Ulama.
“Daging para ulama itu beracun”, demikian pesan para ulama kita. Terlebih lagi bila kita menghina dan menggunjingkan mereka karena karena ilmu syar’i yang mereka miliki. Jadi sebaiknya kita berhati-hati dalam hal ini.Tidak Membaca Al Qur’an dengan Merenungi Maknanya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad: 24).

Orang yang tidak merenungi ayat – ayat Al Qur’an tidak hanya satu atau dua gembok yang mengunci hatinya? Bahkan dalam hati tersebut terdapat banyak gembok. Banyak kan!! Kira-kira ada berapa gembok di hati kita, kalo gitu.

Tidak Merenungi Kematian, Alam Kubur, Surga, dan Neraka.
Nabi memerintahkan kita untuk berziarah kubur, agar kita teringat akan akhirat. Nabi juga memerintahkan untuk banyak mengingat kematian yang merupakan penghancur kesenangan hidup (HR: Abu Daud). Mengapa? Karena mengingat mati adalah mesin penggerak untuk beramal shalih yang ada dalam diri orang beriman.

Tidak Mengkaji Kehidupan Umat Terdahulu Yang Sholeh (Sahabat dan 2 Generasi Setelahnya).
Mereka merupakan manusia terbaik yang dekat dengan masa kenabian. Seluruh keutamaan terkumpul dalam diri mereka. Lihatlah kekhusyua’an mereka dalam shalat, shalat malam mereka, shalat berjamaah mereka, bhakti mereka kepada orang tua, zuhud mereka, antusias mereka dalam mencari ilmu, dan sebagainya. “Siapakah kita dibandingkan mereka?,” Itulah kesimpulannya. Karena kurang mengetahui kehidupan mereka, maka hati kita jadi keras, sombong, ujub, udah merasa beramal dan berjasa besar terhadap Islam.

Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala cairkan hati-hati kita yang mulai membeku karena Dialah yang mengendalikan hati-hati hamba-Nya.

(Sumber Rujukan: Tazkiyatun Nufus, dll)

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info

Manajemen Qalbu

Hati-hati dengan hatiku
Karena hatiku mudah layu
Jangan engkau bermain-main
Karena ku tak main-main
(Penggalan Lirik Lagu Dewa 19)

Memang kita harus berhati-hati dengan hati kita. Karena hati kita adalah Raja.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ka’bul Ahbar melalui Aisyah r.a bahwa Nabi SAW bersabda, “Manusia itu kedua matanya adalah pemberi petunjuk, kedua telinganya adalah corong, lidahnya adalah juru bahasa, kedua tangannya adalah sayap, kedua kakinya adalah pos, sedangkan rajanya adalah hati. Maka apabila raja itu baik, maka baik pula tentara-tentaranya.”

Raja adalah penentu, pengendali, pemegang kebijakan dan pengambil keputusan. Maka Raja haruslah baik agar keputusan yang diambil juga baik, agar tindakannya juga baik, agar semuanya berjalan baik. Jika Raja itu jahat, maka kerusakanlah yang kan terjadi dan teralami.

Rasulullah SAW bersabda, “Ingatlah dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh itu, tetapi bila ia rusak, maka akan rusak pula tubuh itu seluruhnya, Segumpal daging itu adalah hati (qalbu).” [H.R, Bukhari Muslim]

Untuk itu peliharalah hati kita, jaga senantiasa agar tetap terjaga. Jangan biarkan hati kita rusak karena kita akan rusak. Tetapkan hati kita dalam kondisi bersih agar jalan hidup kita tetaplah rapih.

Dari Hudzaifah bin AJ Yaman r.a. Rasulullah SAW pernah bersabda, ” Bencana (fitnah) menyerang hati seperti teranianya tikar seutas-seutas. Maka hati yang menerima bintik- bintik fitnah tersebut akan tertitiklah pada noktah-noktah hitam, sedangkan hati yang tidak menerimanya akan tergoreslah padanya titik-titik putih. Akibatnya, hati terbagi menjadi dua bagian. Pertama, hati yang hitam legam, cekung bagaikan sebuah gayung terbalik (tertelungkup), tidak kenal yang makruf dan tidak ingkar kepada yang munkar, kecuali apa-apa yang diserap oleh hawa nafsunya. Kedua, hati yang cerah dan putih bersih, yang tidak ternodai fitnah selama bumi dan langit terbentang”[H.R Muslim].

So, sudah saatnya kita memanaj hati dengan baik. Jika kita ingin baik. Maka marilah kita untuk senantiasa saling mengingatkan agar hati kita tetap teringatkan. Karena kita adalah Sang Khilaf.

Jagalah hati
Jangan kau nodai
Jagalah hati
Cahaya hidup ini
(Penggalan Lirik Lagu Aa Gym)

Sabtu, 22 November 2008

Panen

Setelah bobot rata – rata ikan yang dipelihara 250 s/d 300 gr/ekor dilakukan panen. Pada musim tanam yang bagus, bobot diatas dicapai pada umur 100 s/d 120 hari tergantung padat tebar dan pemberian pakan.

Panen dilakukan secara total untuk satu kolam. Pelaksanaanya dengan terlebih dahulu memuasakan (memberok) ikan selama 8 jam sebelum panen. Misalnya panen akan dilakukan jam 19.00 maka harus dipuasakan sejak jam 11.00 siang agar ikan tidak banyak mengeluarkan kotoran saat pengangkutan.

Untuk memudahkan pengambilan ikan saat panen jaring perlu disempitkan dengan menggunakan bambu yang diselipkan dibawah dua siku pengikat tali jaring dan geladak,. Secara perlahan–lahan bambu digeserkan ke tepi kolam yang berlawanan sampai akhirnya menyempit dan ikan terkumpul dan selanjutnya dilakukan penimbangan dan pengepakan.

Pengepakan dilakukan dengan memasukan ikan yang sudah di timbang sebanyak sekitar 10 kiloan ke dalam kantong plastik ukuran 1 X 0,5 m2 rangkap 2-3 lapis. Volume air dalam kantong adalah 1/3 volume kantong dan sedangkan 2/3 lainnya diisi gas O2. Pengangkutan dengan teknik ini mampu menjaga agar ikan tetap hidup selama 8 jam. Setelah pengepakan selesai, ikan diangkut ke tepi dan didistribusikan ke pasar yang membutuhkan.

Pengambilan Contoh/Sampling dan Pengecekan Ikan

Sampling dilakukan bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan mingguan dan pendugaan total bobot biomass ikan yang dipelihara. Manfat lain dari sampling adalah untuk menentukan ukuran serta prosentase dan intensitas pemberian pakan. Sampling dapat dilakukan setiap 15 hari sekali.

Teknik pelaksanaanya adalah dengan mengambil 1 s.d. 2% ikan sampel dari total populasi kemudian menimbang dan menghitung berat rataannya. Agar ikan tidak stress sampling sebaiknya dilakukan pada pagi hari.

Apabila cuaca pada musim pemeliharaan adalah normal dimana tidak terjadi serangan penyakit atau up welling, maka total biomasa ikan yang dipelihara dapat lebih akurat untuk diestimasikan. Selain untuk mengetahui laju tumbuh, sampling juga untuk mengecek kesehatan ikan yang dipelihara khususnya pengecekan terhadap sisik, sirip dan insang karena jika diketahui salah satu insang terserang penyakit dapat segera dilakukan pemisahan dari populasinya untuk diobati.

Pemberian Pakan

Pembesaran ikan dalam KJA termasuk sistem pemeliharaan secara intensif yang dicirikan dengan padat tebar tinggi dan tidak menggantungkan pada pakan alami dari lingkungan di sekitarnya. Oleh sebab itu untuk mendukung pertumbuhan yang optimal, ikan yang dipelihara diberi pakan berupa pelet dengan nutrisi yang seimbang dengan kandungan protein 26 – 28%.

Selain itu kondisi musim yang tidak selalu sama pada setiap pemeliharaan akan berpengaruh pula terhadap pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan. Namun demikian, pemberian jumlah pakan dapat dilakukan dengan melihat berat pada tiap pengambilan sampel/contoh. Secara umum, dosis pemberian pakan untuk pembesaran di KJA adalah 5% pada awal pemeliharaan. Dosis ini berangsur menurun menjadi 3% hingga air pemeliharaan.

Penebaran Benih Ikan

Setelah direncanakan target tonase dan ukuran saat panen maka segera dapat dilakukan tebar benih. Sebelum proses tebar dilakukan terlebih dahulu perlu dicek kondisi jaring yang akan digunakan sebagai wadah pemeliharaan. Usahakan agar kondisinya utuh dan tidak sobek. Ukuran benih yang ditebar disesuaikan dengan ukuran mata jaring yang akan digunakan. Untuk benih ukuran 5 g/ekor menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring 0,75”, sedangkan diatas 10 g/ekor bisa menggunakan jaring 1,0”.

Proses tebar benih bisa dilakukan pada pagi atau sore hari sewaktu intensitas sinar matahari rendah. Sebelum benih dilepas dilakukan adaptasi suhu selama sekitar 5 menit. Caranya dengan membiarkan kantong benih mengapung di kolam, selanjutnya kantong di buka sambil memasukkan air kedalamnya. Setelah ikan terlihat diam gerakannya tidak liar (stress) perlahan–lahan mulut kantong ditenggelamkan ke dalam air. Proses adaptasi yang dilakukan dengan benar akan dapat menekan angka mortalitas hingga 5%.

Pemilihan Benih

Pemilihan benih sangat penting dilakukan sebelum tebar. Perlu diketahui asal–usul, umur, kesehatan dan keseragaman ukuran dalam populasinnya. Benih yang baik berasal dari hasil pemijahan induk yang unggul dan tidak terinfeksi penyakit. Ciri-ciri benih unggul untuk kegiatan pembesaran tertera dalam Standard Nasional Indonesia (SNI) baik nila, mas maupun beberapa jenis ikan lainnya.

Padat Tebar Ikan

Padat tebar ikan dalam tiap kantong KJA bergantung pada jenis ikan, ukuran tebar, lama peleliharaan, ukuran panen dan tujuan pembesaran. Padat tebar untuk memproduksi ikan konsumsi berbeda dengan untuk memproduksi calon induk/induk. Secara umum, padat tebar ikan untuk pembesaran ikan konsumsi lebih rendah daripada untuk pembesaran ikan calon induk/induk.

Total Berat Tebar

Total berat tebar (PPI) dapat dihitung dengan rumus : B T P/(BRP X BRT)

Keterangan :
PPI = Padat Penebaran Ikan (kg/m3),
BTP = Berat Total Panen (kg/m3),
BRP = Berat Rata–rata Panen (kg/ekor),
BRT = Berat Rata–rata Tebar (kg/ekor).

Jika kita mengharapkan berat rata-rata saat panen (BRP) adalah 0,3 kg/ekor, berat total saat panen (BTP) 10,20 kg/m3, berat rata–rata tebar (BRT) 0,015 kg/ekor, maka total berat tebar bisa dihitung dengan menghitung volume jaring efektif yaitu 7X7X(3 - 0,5 = 2,5) m3 =122,5 m3. Pengurangan dengan 0,5 m sebagai kompensasi berkurangnya kedalaman jaring karena tidak terendam air melainkan menggantung di sisi geladak. Dari hitungan diatas jumlah ikan yang harus ditebar adalah 62,47 kg.

Target Tonase Akhir

Penghitungan target tonase akhir sangat ditentukan oleh prosentase kandungan protein dalam pakan yang diberikan. Kecenderungannya adalah semakin tinggi kandungan protein dalam pakan hinggga batas optimal akan semakin tinggi pula pakan yang dirubah menjadi daging.

Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung tonase akhir panen (TAP) adalah:

TAP =(TPS x 65%) + BTAB

Keterangan :
TAP = Tonase Akhir Panen,
TPS = Total Pakan Yang Digunakan Selama Pemeliharaan,
BTAB = Bobot Tebar Awal Benih.

Sebagai contoh, Jika pakan yang terkonversi menjadi daging adalah 65%, total pakan yang digunakan selama pemeliharaan (TPS) adalah 2000 kg dan bobot tebar awal benih (BTAB) adalah 50 kg, maka tonase akhir dapat diestimasi sbb :

(2000 kg X 65% ) + 50 kg = 1350 kg daging

BUDIDAYA IKAN

Beberapa hal yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan kegiatan budidaya ikan di KJA antara lain: penentuan padat tebar, pemilihan dan penebaran benih, pemberian pakan, pengambilan sample (contoh), panen dan distribusi.